PEMILU 2024 – Dalam buku “Pemilu di Indonesia” yang ditulis oleh Indriana F (Page 8) mengatakan bahwa pemilihan umum merupakan wujud nyata partisipasi politik rakyat dalam pemerintahan. Pemilu di Indonesia diselenggarakan oleh sebuah lembaga negara yang bersifat independent. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pemilihan umum anggota lembaga legislatif sepanjang sejarah Indonesia telah diselenggarakan 12 kali, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014, dan 2019. Pemilu selanjutkan akan di laksanakan pada tahun 2024, tepatnya tahun 2024 yang akan datang dan pada tahun ini kita sudah berada pada masa huru-hara perpolitikan untuk menyambut pemilihan di tahun 2024.
Media Sosial Sarana Politisasi Calon Pemilih
Pada tahun politik sekarang ini terasa lebih berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, hal tersebut di dasari oleh kecenderungan para politisi dalam menggunakan media sosial dan media massa untuk berkampanye.
Menurut jurnal yang berjudul “Menentukan Capres dan Cawapres 2024 Melalui Penggunaan Media Sosial” yang ditulis Fajar Kurniawan, pengaruh besar kampanye dari media sosial sebesar 54,79% dapat memberikan informasi kepada pemilih muda melalui media sosial yang cenderung bergantung pada politisi yang aktif ber media sosial.
Karena perkembangan dan pergeseran penggunaan media informasi yang bersifat klasik beralih ke berbasis online, dari media cetak ke media elektronik. Tentu saja itu juga memengaruhi pandangan seseorang saat mempertimbangkan calon yang akan di pilihnya.
Media Sosial Bagaikan Dua Sisi Mata Uang Bagi Aktor Politik
Seperti yang kita tau bahwa seiring berjalannya tahun menuju pemilihan capres dan cawapres, perkembangan teknologi apalagi persebaran informasi semakin berkembang. Menurut Faridhian Anshari dalam jurnal-nya yang berjudul “Komunikasi Politik di Era Media Sosial”, mengatakan bahwa media sosial ibarat dua sisi mata uang bagi para aktor politik.
Di satu sisi keberhasilan memanfaatkan media sosial dapat memungkinkan aktor politik mendapatkan dukungan positif, tapi di sisi lain kegagalan memanfaatkan media sosial berisiko merusak citra yang dia miliki.
Media Sosial dan Sudut Pandang Pendapat Opini Publik
Kebebasan berpendapat di media sosial seperti dalam komentar netizen dan juga konten-konten tentang perpolitikan di masa sekarang tentu saja dapat merubah sudut pandang seseorang tentang calon presiden dan wakil presiden yang nanti akan di pilihnya. Jika dilihat di platform seperti twitter banyak sekali komentar-komentar opini yang dapat memengaruhi opini publik.
Pesan dan konten yang di bagikan di platform media sosial dapat memengaruhi cara pemilih memandang calon dan isu-isu terkait. Sekarang banyak juga masyarakat yang akhirnya jadi sependapat dengan opini yang mungkin dampaknya akan baik atau malah menjatuhkan partai politik yang wakilnya akan mencalonkan diri, tentu saja hal tersebut akan memengaruhi hasil dari pemilu tersebut.
Sebenarnya hal tersebut tentu dapat berdampak positif jika para politisi mampu memanfaatkan media sosial untuk lebih gencar lagi membuat konten-konten yang membagikan program kerja, visi, dan pandangan calon kepada pemilih potensial.
Lalu cara yang sedang marak di gunakan para politisi-politisi untuk merasa dekat dengan masyarakatnya yaitu dengan membalas mention-mention netizen atau menjawab komentar-komentar dengan topik kekinian untuk membangun branding bahwa partai politik tersebut dekat dengan masyarakat, selain itu juga sebagai sarana berbicara langsung kepada masyarakat.
Seperti contohnya partai Gerinda di akun twitternya @Gerindra yang kerap kali membalas tweet followersnya dengan bahasa gaul ala anak muda di twitter, hal tersebut menjadi sorotan bagi kaum milenial dan gen z yang mengakibatkan followers akun tersebut naik drastis.
Dengan cara memanfaatkan media sosial politisi mampu menjangkau khalayak luas bahkan diluar konstituen mereka untuk memaksimalkan penyebaran pesan mereka. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan pendukung dan bisa memengaruhi pandangan masyarakat.
Hadirnya sosial media yang saat ini di gunakan sebagai platform untuk berpolitik tentu saja berdampak positif dan negatif bagi pemilih maupun politisi. Ada baiknya kita sebagai pemilih yang nantinya memilih siapa calon untuk menjadi pemimpin negara mampu menyaring informasi dengan benar dan tidak mudah terbawa opini-opini yang ada di media sosial.
Pilih calon presiden dan wakil presiden yang memang sanggup dan memenuhi standar menjadi seorang pemimpin negara. Untuk para politisi hendaknya mampu menggunakan media sosial untuk mempromosikan calonnya secara netral tanpa menjatuhkan pihak manapun dan juga membuat pendekatan-pendekatan kepada masyarakat dengan cara yang bersih dan transparan sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman yang dapat merusak reputasi partai politik tersebut.
Sumber:
Indriana.(2019). PEMILU DI INDONESIA,8-10
Aji, M. P., & Indrawan, J. (2020). HAMBATAN DAN TANTANGAN PARTAI POLITIK: PERSIAPAN MENUJU PEMILIHAN UMUM 2024. El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, 8(2), 214-229. Retrieved from http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/washatiya/article/view/4235
Anshari, F. (2016). Komunikasi Politik di Era Media Sosial. Jurnal Komunikasi, 8(1), 91–101. Retrieved from https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6469
Putri, A. N. A. (2021). Gaya Komunikasi Politik Twitter Partai Gerindra. JURNAL LENSA MUTIARA KOMUNIKASI, 5(2), 105–113. https://doi.org/10.51544/jlmk.v5i2.1993